DEVINISI HUKUM MATI
Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.- Hukuman pancung: hukuman dengan cara potong kepala
- Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik bertegangan tinggi
- Hukuman gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan
- Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh
- Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat.
- Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati
Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.
Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.
Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati
HUKUMAN MATI DALAM SUDUT PANDANG ISLAM
Dalam Islam masalah hukuman ini dibahas dalam al jinaayaat. Al jinaayaat adalah bentuk jama’(plural) dari kata al jinaayatu yaitu penganiayaan atas badan, sehingga mewajibkan adanya qishaash/sanksi badani, atau sanksi (denda) berupa harta. Salah satu bentuk jinaayaat yang paling besar adalah sanksi bagi tindak pembunuhan.Bentuk-bentuk pembunuhan:
a. Pembunuhan sengaja
b. Pembunuhan mirip sengaja
c. Pembunuhan kesalahan/kekeliruan (tidak sengaja, penerj.)
Pembunuhan sengaja (al qatl ul ‘amad), yaitu seseorang yang memukul orang lain dengan sesuatu yang biasa digunakan untuk membunuh, atau seseorang melakukan perbuatan yang biasanya mengarah kepada pembunuhan seperti dengan pisau dan pistol atau mencekik atau mendorong dari tempat tinggi. ‘Uqubat pembunuhan yang disengaja yaitu dibunuh/qishaash. Orang yang membunuh dengan sengaja maka akan dibunuh jika ahli waris korban tersebut tidak mau menerima tebusan (ad diyah) atau tidak mau memaafkan. Firman Allah swt: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash dalam perkara pembunuhan” (TQS. Al Baqarah [2]: 178)
Sabda Rasul saw.: “Barangsiapa yang membunuh maka bunuhIah ia. Dan bagi ahIi waris ada 2 aIternatif yaitu minta tebusan atau balas membunuh” (HR Bukhari)
Ada beberapa keadaan yang menyebabkan sang pembunuh tidak diqishash:
1. Pembunuh kafir harbiy
2. Orang tua tidak dibunuh jika ia membunuh anaknya, sebagaimana sabda Rasul saw.: “Tidak dibunuh orang tua yang membunuh anaknya”
Pembunuhan mirip sengaja (al qatl syibh ul ‘amad), yaitu kejahatan tanpa pembunuhan, yang sebenarnya dimaksudkan hanya untuk menganiaya atau memberi pelajaran (ta’diib) seperti memukul dengan cambuk, melempari dengan batu kecil, meninju dengan tangan dan seluruh alat yang tidak biasa digunakan untuk membunuh.
‘Uqubatnya:
- Diyat yang berat (ad diyat al mughallazhah :100 ekor unta yang 40 ekor diantaranya adalah unta hamil berupa hukuman yang diberatkan), yang diberikan oleh keluarga yang membunuh. Sabda Rasul saw.:“Sesungguhnya pembunuhan yang tidak sengaja (qatiil ul khathaa’) yang mirip kesengajaan berupa pembunuhan dengan cambuk dan tongkat, maka diyatnya adalah 40 unta hamil” (HR Bukhari)
- Kaffaarat (tebusan).Allah berfirman: ”Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja), maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang budak yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang ierbunuh), kecuali kalau mereka bersedekah (membebaskan dari diyat)” (TQS. An Nisaa’ [4]: 92) dalam ayat lain : ”maka barang siapa tidak memperolehnya hendaklah dia berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai penerimaan taubat dari Allah” (TQS. An Nisaa’ [4]: 92)
Pembunuhan kesalahan (al qatl ul khathaa’), adalah seseorang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya ia tidak ingin mengenai orang yang terbunuh. Namun kenyataannya ia mengenai orang tersebut. Seperti seseorang yang membidik beruang tetapi yang terkena adalah manusia dan orang itu kemudian mati.
Atau kendaraan yang berjalan mundur lalu menabrak seseorang hingga terbunuh dimana si pengendara tersebut tidak melihatnya. Atau bermaksud membunuh seseorang tetapi yang terbunuh adalah orang lain.
Uqubat/sanksinya adalah:
a. Diyat yang ringan (addiyatu al mukhaffafah): yaitu 100 unta tanpa syarat.
b. Kaffaarah
Allah berfirman: “Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan kesalahan (khatha’) maka (hendaklah) dia memerdekakan seorang budak yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh), kecuali kalau mereka bersedekah (membebaskan dari diyat)” (TQS. An Nisaa’ [4]: 92)
Penjelasan/pembuktian bagi kasus pembunuhan (bayyinat ul qatl)
Pembunuhan bisa dibuktikan dengan kesaksian dan pengakuan
- Kesaksian dua orang yang adil, Rasulullah bersabda: “Engkau harus menghadirkan dua orang saksi yang menyaksikan pembunuhan atas saudaramu”Syarat-syarat saksi sama seperti yang diberlakukan dalam berbagai taklif, yaitu baligh, berakal dan adil. Dalam pengadilan Islam tidak dikenal saksi ahli seperti yang sering kita lihat dalam persidangan dewasa ini.
- Pengakuan (lqraar)
Pengakuan telah ditetapkan berdasarkan dalil, baik yang tercantum di dalam al-Qur’an maupun hadits. Allah berfirman: “Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, Kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.”
Maksudnya, kemudian kalian berikrar (memberikan pengakuan) dengan isi perjanjian tersebut dan kebenarannya. Dan Allah telah menetapkan ikrar (pengakuan) mereka, lalu ikrar tersebut menjadi hujjah bagi mereka. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Wahai Unais-seorang laki-laki dari Bani Aslam- temuilah wanita itu, jika ia mengaku, maka rajamlah ia.”
Cara Membunuh Pelaku Pembunuhan
Pelaku pembunuhan boleh dibunuh dengan alat apapun yang mempermudah proses eksekusi. Dengan demikian boleh dibunuh dengan pedang, atau digantung dengan tali, atau dilempar ke dalam api, atau dengan cara yang lain. Di sini tidak disyaratkan kecuali satu saja, yaitu ihsan al-qathlu (eksekusi yang paling baik), yakni yang mempermudah kematian.
Fungsi Uqubat Dalam Islam
Untuk menilai sebuah hukum, khususnya sanksi (uqubat) yang merupakan produk hukum syari’at, hendaknya di tinjau secara objektif dan menyeluruh sesuai dengan fungsi dan hukum itu bagi keamanan dan ketentraman masyarakat manusia. Bagi orang-orang non Islam, kiranya lebih bijaksana kalau sebelum menilai mereka mempelajari fakta hukum Islam tentang sistem uqubat tersebut dan bisa dibandingkan keampuhannya dengan sistem hukum lain yang paling ampuh. Bagi kaum muslimin yang mukmin kepada Allah Yang Maha Bijaksana dan Yang Paling Tahu tentang apa yang paling manusiawi bagi manusia, sikap yang paling tepat adalah menerima keputusan hukum dari Allah SWT dalam nash-nash syara’ tanpa reserve
(Qs. al-Ahzab [33]: 36).
Pencegah Keonaran
Sanksi (uqubat) di dalam Islam, dalam catatan sejarah, telah terbukti mampu mencegah kejahatan, menjamin keamanan, keadilan dan ketentraman bagi masyarakat. Sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku tindak kriminal berfungsi sebagai “zawajir” (pencegah) sangat efektif mencegah orang-orang yang hendak melakukan perbuatan dosa dan kejahatan. Fungsi tersebut dijelaskan oleh Allah SWT dalam firmannya: “Dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa.” (QS al-Baqarah [2]: 179).
Berkaitan dengan ayat di atas, Ibn Katsir menyatakan bahwa di dalam qishâsh itu terdapat hikmah yang agung, yaitu terpelihara dan terjaganya darah (kehidupan) manusia. Sebab, jika seorang yang akan membunuh manusia mengetahui bahwa ia akan dihukum mati jika dia melakukan pembunuhan, tentu ia akan berpikir seribu kali untuk membunuh. Dengan begitu, akan banyak manusia yang terselamatkan dari kasus-kasus pembunuhan dan kelangsungan hidup manusia pun akan terpelihara. Karena itulah, agar fungsi zawâjir itu berjalan, pelaksanaan hukuman mati (qishâsh) harus dilakukan secara terbuka. Dengan begitu, masyarakat tahu siapa yang dihukum, kapan, dimana, dan dengan cara apa eksekusi dilakukan; penguburan jenazahnya juga disaksikan oleh masyarakat luas.
Di samping itu, yang harus di-qishâsh adalah semua orang yang terlibat langsung dalam pembunuhan yang disengaja itu, meskipun jumlahnya banyak. Umar bin al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa jika sekelompok orang bersekutu-baik dua orang atau lebih; baik orang yang menjadi otaknya maupun eksekutor lapangan; baik yang membunuh langsung maupun yang sekadar memegangi korban; dst.-untuk membunuh seseorang, maka semuanya dikenai sanksi qishâsh, meskipun korbannya satu orang.
Masyarakat yang menyaksikan penerapan hukum qishash akan lebih tinggi kesadaran hukumnya dan tidak akan gampang membunuh, sehingga kelangsungan hidup masyarakat akan terjamin. Konsep ini bisa dibandingkan dengan hukuman penjara bagi pembunuh yang ternyata melahirkan persepsi masyarakat yang menganggap bahwa nyawa manusia begitu murah sebagaimana kita saksikan dalam berbagai mass media setiap hari.
Kesucian kehormatan manusia dlindungi oleh hukum syara’ yang benar-benar efektif dalam mencegah terjadinya pelanggaran kehormatan dengan menjilid atau merajam para pezina dengan disaksikan oleh masyarakat (Qs. an-Nûr [24]: 2). Bisa dibandingkan dengan merajalelanya free sex, kasus perkosaan dan pelecehan seksual akibat tak ada atau terlalu ringannya sanksi bagi kriminalis bidang ini.
Terhadap perampok, pembegal, pencopet dan penjambret, Islam memberikan sanksi yang tidak tanggung-tanggung, yaitu: dihukum mati dan disalib mayatnya di jalanan apabila penjahat tersebut membunuh dan menyakit barang korbannya, dihukum mati saja jika penjahat itu membunuh tapi tidak sempat mengambil barang korban, dan penjahat itu dipotong tangan dan kakinya saling silang bila ia hanya merampok barang korbannya (Qs. al-Mâ’idah [5]: 33). Bisa dibandingkan dengan semakin banyaknya penjahat sadis yang tidak jarang “lebih tegas” daripada para polisi.
Nampaknya kita perlu merenungkan penjelasan Allah SWT tentang hukum potong tangan sebagai berikut:
“Pria yang mencuri dan wanita yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya (sebagai hukuman) pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan, dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 38).
Sebagai Penebus Dosa
Sanksi pidana Islam yang diberlakukan di dunia-tentu saja jika memenuhi ketentuan syariah-akan berfungsi sebagai jawâbir (penebus dosa). Dengan begitu, pelakunya tidak akan disiksa di akhriat karena dosa kejahatan tersebut. Di sinilah keberpihakan hukum Islam kepada pelaku tampak. Bagi orang yang mengimani kehidupan akhirat berikut pahala dan siksanya, sifat ini memberikan dorongan besar baginya untuk mengakui kejahatan yang ia perbuat sekaligus menjalani hukuman dengan penuh kerelaan bahkan dengan kegembiraan. Hal itulah yang terjadi atas diri Maiz al-Aslami dan al-Ghamidiyah yang pernah datang kepada Rasulullah saw. untuk memberikan pengakuan atas zina yang mereka lakukan. Mereka pun mendesak Rasulullah saw. untuk segera menghukum rajam mereka agar dengan itu mereka menjadi suci kembali dan di akhirat kelak mereka tidak khawatir akan mendapatkan azab dari Allah yang pasti lebih berat lagi.
Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya: “Kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri dan tidak menolak melakukan perbuatan yang ma’ruf. Siapa saja menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia maka hukuman itu akan menjadi penebus (siksa akhirat) baginya. Dan siapa saja yang melanggarnya kemudian Allah menutupinya (lolos dari hukuman dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak maka Dia akan menyiksanya; dan jika Dia berkehendak maka akan memaafkannya.” [HR Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit].
Dimensi kehidupan dalam pandangan Islam adalah dunia dan akhirat, dimana dunia itu adalah ladang bagi akhirat. Siapa di dunia menabur kejahatan di dunia akan menuai adzab neraka yang pedih tiada terhingga di akhirat. Namun, sebelum mati, Islam masih memberikan kesempatan kepada orang-orang yang gagal di dunia dengan tindak kejahatannya itu untuk bisa sukses di akhirat dengan cara taubat nasuha. Bukti kongkrit dari taubat nasuha seorang pelanggar hukum dalam Islam adalah kesediaanya menerima uqubat yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karena itu, tidak heran kalau para pelanggar hukum di masa Rasulullah saw. umumnya datang swendiri mengakui kesalahan dan minta disucikan daris dosa mereka. Setelah pelaksanaan hukum rajam terhadap Maiz, Rasulullah saw. bersabda: “…taubat Maiz sepenuh taubat manusia seluruh dunia…Bhawa sesungguhnya sekarang Maiz sedang berenang di sungai-sungai di surga.” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan at-Tirmidzi].
Mari kita bandingkan mana yang lebih baik penjahat yang menebus dosa dan meninggalkan dunia sehingga masyarakat pun menjadi aman dan ia selamat di akhirat ataukah penjahat yang menebus penjara dengan uang (prinsip kapitalis) dan kembali ke masyarakat, bikin keonaran lagi, dan tidak ada jaminan baginya selamat di akhirat? Yang perlu kita catat, hukum Islam hanya layak untuk manusia yang berfikir (Qs. al-Baqarah [2]: 179).
Semua itu menjamin penjagaan darah masyarakat dan kelangsungan kehidupan masyarakat. Di sinilah kejelasan keberpihakan hukum Islam kepada masyarakat.
Adapun keberpihakan hukum Islam kepada korban adalah dengan adanya hak keluarga korban untuk menuntut hukuman qishâsh. Rasulullah saw. Bersabda:
“Siapa saja yang membunuh dengan sengaja, maka ia dihadapkan kepada wali-wali pihak korban yang terbunuh. Jika mereka menghendaki, mereka dapat membunuhnya. Jika mereka menghendaki, mereka bias mengambil diyat-yaitu 30 unta dewasa, 30 unta muda, dan 40 unta yang sedang bunting. Jika mereka memaafkannya maka pahalanya bagi mereka. “(HR at-Tirmidzi).
Sanksi pidana Islam bisa diibaratkan sebagai palang pintu terakhir dalam melindungi masyarakat dari kejahatan. Tentu saja upaya mencegah dan mengikis kejahatan sampai batas paling minimal harus disinergikan dengan sistem-sistem yang lain. Dorongan kemiskinan dan kelaparan hanya bisa dihapus melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok serta kemungkinan pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier. Untuk menjaga akidah dan akhlak harus dilakukan melalui sistem pendidikan Islam. Untuk jaminan keamanan, keadilan, dan pelayanan harus diterapkan sistem pemerintahan Islam. Untuk memelihara pergaulan pria-wanita yang sehat dan bersih harus diterapkan sistem pergaulan Islam.
Kebenaran datangnya dari Allah tapi nyawa tidak lah ternilai. yang perlu digaris bawahi adalah jangan melakukan perbuatan yang dilarang Allah dan berpegang teguhlah pada syariat Allah ( Al Quran - Al Hadist )
0 komentar:
Posting Komentar